Oleh Susan
AmbaritaNews.com | Jakarta - Jumat pagi, 27 Desember 2024, jam menunjukkan pukul 09.35 saat saya mengisi bahan bakar di salah satu SPBU kawasan Menteng. Dalam sekejap, kejadian yang mengejutkan membuat saya terdiam, lalu marah. Di depan saya, sebuah mobil mewah jenis Alphard terlihat santai mengisi bahan bakar Pertalite, yang seharusnya ditujukan untuk rakyat menengah ke bawah. Pemilik kendaraan bahkan dengan percaya diri menunjukkan barkode MyPertamina untuk mengakses subsidi ini.
Ironi yang menyakitkan adalah bahwa subsidi bahan bakar ini dirancang untuk meringankan beban masyarakat kecil. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kebusukan sistem yang seolah-olah dibangun untuk melayani mereka yang justru tidak berhak.
*Drama "Subsidi Rakyat" yang Busuk*
Pertamina, sebagai BUMN kebanggaan bangsa, kerap berlagak menjadi pahlawan subsidi. Namun, di balik citra mulia yang mereka pertontonkan, terungkap ironi yang mencerminkan ketidakadilan sistemik. Saat ini, penggunaan aplikasi MyPertamina disebut-sebut menjadi solusi untuk mendistribusikan subsidi secara tepat sasaran. Namun, apa yang terjadi di lapangan?
Mobil mewah, seperti Alphard, Pajero, atau BMW, dengan santainya mengantri dan mengakses bahan bakar subsidi. Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa lolos? Apakah ini murni kelalaian, atau ada permainan yang disengaja? Yang lebih mengkhawatirkan, kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi. Saya pribadi sudah beberapa kali melihat pemandangan serupa di berbagai SPBU.
*Kolaborasi dengan Pihak Swasta yang Mengancam Rakyat Kecil?*
Fakta bahwa Pertamina mulai banyak menggandeng pihak swasta dalam operasionalnya juga patut dipertanyakan. Bukannya membawa solusi, kerjasama ini justru terkesan seperti alat untuk semakin menjauhkan rakyat kecil dari hak mereka. Biaya distribusi yang semakin mahal, serta implementasi kebijakan yang kurang transparan, justru menambah penderitaan.
Dalam retorika mereka, Pertamina selalu menggaungkan bahwa subsidi ini adalah bentuk kepedulian kepada rakyat kecil. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan "subsidi ini" hanya menjadi sarana untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
*Siapa yang Salah?*
Haruskah kita menyalahkan para pengguna kendaraan mewah ini? Atau sistem yang mereka manipulasi? Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa Pertamina sebagai pengelola subsidi memiliki tanggung jawab besar atas kekacauan ini. Mulai dari pengawasan yang lemah hingga ketiadaan sanksi tegas bagi pelanggar, semuanya memperlihatkan lemahnya tata kelola distribusi.
Yang paling membuat saya geram adalah bagaimana aksi ini begitu terang-terangan, seolah-olah tidak ada rasa malu atau takut. Sementara itu, rakyat kecil yang hanya memiliki sepeda motor atau kendaraan sederhana harus berjuang dalam antrian panjang untuk mendapatkan hak mereka.
*Apa Solusinya?*
Sudah saatnya pemerintah dan Pertamina berhenti memprioritaskan citra belaka. Ada beberapa langkah yang seharusnya segera diambil:
1. Pengawasan Ketat: Setiap SPBU harus memiliki sistem verifikasi yang lebih ketat, seperti pemeriksaan langsung terhadap kendaraan yang berhak menerima subsidi.
2. Sanksi Tegas: Hukum pelaku penyalahgunaan subsidi, baik individu maupun korporasi, untuk memberikan efek jera.
3. Transparansi Data: Pertamina harus membuka akses data pengguna subsidi agar masyarakat dapat ikut mengawasi.
4. Revisi MyPertamina: Perbaiki sistem aplikasi yang terbukti memiliki banyak celah.
*Refleksi untuk Semua*
Kejadian ini bukan hanya tentang mobil Alphard yang mengisi Pertalite atau sekadar kritik terhadap Pertamina. Ini adalah potret betapa timpangnya perlakuan terhadap rakyat kecil di negeri ini. Ketika subsidi yang seharusnya menjadi hak mereka justru dirampas oleh mereka yang lebih berkuasa, ke mana lagi rakyat kecil harus mencari keadilan?
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih vokal dalam mengawasi kebijakan seperti ini. Dan untuk Pertamina, hentikan drama pura-pura peduli! Rakyat sudah cukup pintar untuk melihat siapa yang sebenarnya menjadi perusak di balik topeng subsidi ini.
_Penulis adalah Srikandi PPWI Kota Jakarta_