AmbaritaNews.com | Jakarta - Hampir semua presiden di dunia pernah berbohong. Tapi kebohongan Presiden AS Donald Trump adalah yang terparah.
Presiden adalah jabatan politik. Dan kebohongan di dunia politik adalah "hal yang wajar" dan nyaris tak terhindarkan. Meski demikian, dalam hal tertentu, terutama yang menyangkut kebutuhan publik -- kebohongan itu harus dijauhi. Bila tidak, presiden akan berhadapan dengan amarah publik. Dan publik bisa saja menghancurkan karir politiknya.
Tapi aneh. P Trump justru mengeksploitasi kebohongan-kebohongan itu untuk meningkatkan popularitasnya di mata rakyat AS. Dan ironisnya, ia berhasil. Menang dalam Pilpres AS 2024, mengalahkan Kemala Harris yang lebih santun dan bermoral.
Memang luar biasa fenomena politik AS. Anomali perilaku Trump dan kebohongan politiknya, terjadi secara simultan dan terus menerus, baik di masa kampanye maupun suasana tenang.
Trump sepanjang karirnya di dunia politik AS dipenuhi kebohongan yang sangat masif dan variatif. Anehnya, meski rakyat AS tahu kebohongan Trump, mereka memilihnya. Ilusi faktual yang muncul dari kebohongan Trump, telah melumpuhkan kewarasan rakyat AS. Sehingga mereka pun memilih "sang pembohong" untuk menjadi pimpinan nasionalnya.
"Donald Trump adalah presiden AS pertama yang secara konsisten berusaha menciptakan realitas fiktif yang hampa di ruang publik," kata sejarawan Timothy Naftali , peneliti Universitas Columbia. Trump tidak hanya menyesatkan fakta atau memutarbalikkan informasi -- tapi juga rajin menciptakan cerita imajiner dari ruang kosong.
“Dia menemukan,” kata Naftali, “bahwa kebohongan besar lebih kuat daripada kebohongan kecil. Dan jika Anda ingin lolos dari tuduhan kebohongan, Anda sebaiknya melakukan kebohongan besar.
Salah satu contoh aneh kebohongan Trump adalah bahwa imigran Haiti "memakan hewan peliharaan" penduduk Amerika di Ohio. Trump juga menceritakan kisah imajiner yang aneh bahwa Kongo sengaja mengosongkan penjara untuk mengirim penjahat ke AS. Cerita fiktif yang aneh itu, lucunya membuat Trump makin populer di mata pendukungnya.
Trump juga terus menerus menipu tentang ekonomi AS yang kian melemah. Biang keladinya, kata Trump, negara lain terutama China menetapkan tarif atau bea masuk produk ekspor AS yg tidak adil. Bea masuk yang mahal itu merugikan konsumen AS.
Solusinya, kata Trump, AS harus membalas. Menetapkan bea masuk produk Cina sampai ratusan presen bila masuk ke AS untuk melindungi industri dalam negeri. American First adalah tagline kepresidenan Trump untuk menjadikan "America Great Again."
Trump lupa atau tak mau tahu bahwa perkembangan teknologi Cina sangat pesat dan mengalahkan AS. Pekerja di Cina sangat terampil dan upahnya kecil sehingga industri di negeri Panda itu sangat efisien.
Hasilnya, produk industri Cina kualitasnya bagus. Harganya murah. Sehingga penjualannya laris manis, bahkan di pasar AS sendiri, mengalahkan produk setempat. Dampaknya industri AS kelojotan. Sudah pasar terbesarnya di Cina lenyap, pasar dalam negeri pun ambyar.
Tidak cukup menghardik Cina dalam dunia perdagangan. Trump juga melecehkan lawan politiknya di Washington.
Trump berbohong bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin menertawakan wajah Kamala Harris yang jelek. Trump juga berbohong bahwa Obamacare tidak berguna. Padahal publik AS melalui survei menyatakan Obamacare (program jaminan kesehatan rakyat AS yang dicanangkan mantan Presiden Obama) manfaatnyanya sangat besar. Berobat pun murah dan menyenangkan.
Sejarah mencatat: tidak ada tokoh besar lain dalam politik federal AS, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, yang rajin berbohong seperti Trump. Dan Trump "selamat" dari jeratan hukum.
Lebih aneh lagi, meski Trump telah divonis bersalah atas 34 dakwaan pidana, antars lain, karena memalsukan catatan bisnisnya, ia menang dalam Pilpres AS 2024, mengalahkan Harris. Padahal Trump jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum yang berat.
Samuel Abrams, dosen politik dan ilmu sosial di Sarah Lawrence College di New York, mengatakan, “Mengapa kandidat tertentu kebal dari skandal, tapi yang lainnya tidak? Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mengapa rekam jejak Donald Trump, misalnya, yang terkait perselingkuhan dan beberapa kasus kriminal, tidak melekat pada dirinya?”
Jawabnya, Trump telah menyulap kebohongan di era post truth menjadi "kenyataan". Di era post truth, kebenaran bukanlah kebenaran. Kebenaran adalah produk citra virtual hasil rekayasa. Dan Trump memanfaatkannya secara jeli dan masif.
The Washington Post, pada akhir masa jabatan Trump periode pertama Januari 2021 melaporkan bahwa ia telah membuat lebih dari 30.000 klaim yang salah atau menyesatkan selama empat tahun masa jabatan sebagai Presiden. Pernyataan yang dianggap salah atau menyesatkan ini meliputi berbagai topik, seperti ekonomi, kebijakan luar negeri, pandemi Covid-19, dan pemilu.
Dalam kampanye 2024, Trump berjanji bahwa jika ia menang, konflik Palestina dan Israel akan segera diakhiri. Faktanya, setelah Trump menang, konflik di Timur Tengah tersebut makin membara. Dan Trump secara ironis, kini makin menunjukkan kedekatannya dengan Israel.
Sebagian besar umat Islam di AS yang telah memilih Trump dalam Pilpres 2024 kecewa berat. Trump telah membohongi warga muslim AS yang telah memilihnya.
Tak hanya itu. Dunia pun makin cemas terhadap kebijakan politik Trump yang random. Trump oleh media massa di Amerika dan Eropa telah disejajarkan dengan Presiden Korut Kim Jong Un dan PM Israel Benjamin Netanyahu (yang kini buron sebagai penjahat perang).
Apa arti semua itu? Masa depan dunia makin kacau. Dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat akan menambah kekacauan itu. Trump adalah pembohong yang merusak dunia.
Penulis: Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007