Judol, Racun yang "Merusak" Masyarakat
INGIN MENJADI JURNALIS MEDIA ONLINE AMBARITA NEWS, HUBUNGI NOMOR TELEPON ATAU WHATSAPP 082130845668

Judol, Racun yang "Merusak" Masyarakat

Rabu, 27 November 2024, 18:22
Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007KH. DR. Amidhan Shaberah


AmbaritaNews.com | Jakarta - Seluruh kitab suci, mengharamkan judi dalam bentuk apa pun. Nabi Muhammad tegas melarang perjudian karena "maisir" bisa menghancurkan kehidupan masyarakat. 

Kini, peringatan Rasulullah itu makin nyata di depan mata kita. Maisir modern di era digital saat ini makin canggih, dengan nama judi online (judol). Daya rusaknya terhadap kehidupan masyarakat makin dahsyat. 

Bila dulu maisir (judi) pelakunya berhadap-hadapan (face to face), judol  pelakunya hanya berhadapan dengan layar hape. Tapi dampaknya sama, merusak masyarakat. Bahkan judol daya rusaknya lebih besar dan mengerikan. Ini karena jumlah pelaku judol sangat banyak, dengan waktu 24 jam sehari di ruang yang tak terbatas. 

Pada maisir, pelaku judi ada kemungkinan menang. Tapi pada judol, pelaku pasti kalah. Karena judol sesungguhnya "aplikasi" permainan judi yang didesain "scam". 

Artinya, siapa pun yang mengikuti judol, pasti berakhir kalah. Tak akan pernah menang. Kemungkinan menangnya nol persen, meski di awal permainan  judol, pelaku "diiming-imingi" kemenangan. Kemenangan awal hanya pancingan. Kalau sudah kecanduan, lalu ketetusan, pasti hancur. 

Samat, seorang pria di Ciputat, Tangsel, 7 Juli 2024 lalu gantung diri. Karena terlilit utang gegara judol. Kasus Samat hanya satu contoh dari sekian ratus, bahkan sekian ribu kasus bunuh diri karena judol. 

Korban judol sangat variatif, dari warga kelas bawah, menengah sampai atas. Dari petani miskin, tukang ojek, sopir truk, guru, polisi sampai dokter. 

Letnan Satu Dokter Eko Damara, misalnya, bunuh diri karena judol. Sama halnya dengan Prajurit Dua (Prada) Prima Saleh Gea.  Prima, anggota Batalyon Kesehatan 1 Divisi Infanteri 1 Kostrad Bogor, gantung diri karena terjerat judol. Ia ditemukan tewas di Kamar OB Rumah Sakit Lapangan Yonkes 1/YKH/1 Kostrad, Bogor, pada 4 Juni 2024.

Akibat judol, Brigadir Satu (Briptu) Fadhilatun Nikmah bahkan membakar suaminya (8/6/2024). Briptu Rian DW, suami Nikmah, dibakar istrinya karena menghabiskan tabungan keluarga di Mojokerto, Jatim, 

Sementara Eko, dokter di Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Mobile Republik Indonesia-Papua Niugini Yonif 7 Marinir, bunuh diri karena terlilit utang untuk judol. Ia ditemukan bersimbah darah dengan posisi tubuh bersandar pada dinding ruangan. 

Rentetan kejadian tersebut menunjukkan: kecanduan judol sudah pada tingkat membahayakan dan telah menjangkiti hampir seluruh lapisan masyarakat.

Kementerian Koordinator Politik dan
Keamanan mencatat  9,8 juta orang di
Indonesia main judol. Dan mayoritas, 80 persen, adalah masyarakat umum menengah dan muskin. Uang yang mengalir ke luar negeri dari judol mencapai Rp900 triliun per tahun.

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, Jumat (15/11/2024), menyatakan, judol  telah menjadi bencana sosial. Judol menghancurkan seluruh sendi kehidupan, baik ekonomi, sosial, psikologis, maupun keluarga pada orang yang terlibat (dikutip dari Kompas, 16 November 2024).

Judol tak hanya merusak fisik. Tapi juga psikis. Kecanduan judol merusak saraf otak, sama buruknya dengan kecanduan narkoba. Otak hanya akan mengingat saat menang saja. Akibatnya, perilaku judol sulit dihentikan.

Saat ini, prevalensi kecanduan judi di Indonesia mencapai 2 persen. Jumlah orang yang dirawat akibat kecanduan judok pun terus meningkat. Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, ada 126 pasien rawat jalan terkait kecanduan judol dari Januari - Oktober 2024. Di rumah sakit seluruh Indonesia jumlahnya niscaya lebih banyak lagi. 

Sekitar 80 persen dari pasien kambuh dalam tiga bulan pertama dirawat. Meningkatnya jumlah pasien yang mengalami kecanduan judol  ini seiring makin mudahnya akses masyarakat terhadap internet dan pinjaman online (pinjol) . 

Apalagi iklan judol gencar di media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Tiktok. Sejumlah selegram dan artis terkenal ternyata turut mempromosikannya.

Saat ini, pemerintah berkomitmen memberikan intervensi kepada warga yang terjerat judol melalui upaya mitigasi, reintegrasi, dan penguatan kondisi sosial ekonomi. Pemerintah juga melakukan rehabilitasi lewat perawatan psikososial. Dengan jumlah korban judol yang demikian banyak, tentu pemerintah akan kesulitan. Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh sosial, dan semua pihak yang peduli krisis judol, hendaknya bekerja sama mengatasi persoalan tersebut. 

Selain penanganan mereka yang terjerat judol, hal terpenting lainnya adalah pemberantasan judol itu sendiri hingga ke akarnya. Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring atau Judol yang dipimpin Menko Polhukam hendaknya mengedepankan penangkapan para bandar judol  dan oknum utama dalam perjudian tadi.

Kementerian Komunikasi dan Informatika melaporkan telah memutus akses 1,91 juta konten bermuatan judol mulai dari 17 Juli 2023 hingga 22 Mei 2024. Kemenkominfo juga menutup 18.877 sisipan halaman judol di situs pendidikan dan 22.714 sisipan halaman di situs pemerintahan sampai 22 Mei 2024. 

Dalam kondisi perang melawan judol, tragisnya Kemenkominfo justru kecolongan. Ternyata pegawai Kemenkominfo yang bertugas menutup situs judol, malah melindunginya. Dari pengalaman tersebut, terkuak betapa "licinnya" mafia judol di Indonesia. Mafia dan bandar judol ternyata bisa masuk kemana-mana. Bahkan ke kementerian yang salah satu tupoksinya menutup judol. 

Kriminolog Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, menyatakan penyebab fenomena judol bersifat individual dan struktural. Penyebab individual erat kaitannya dengan motivasi untuk memperbaiki nasib secara instan dan ketidakpahaman individu mengenai risiko kerugian akibat main judol. 

Sedangkan penyebab struktural, terkait dengan sulitnya akses kepada sumber pendapatan legal. Saat ini kondisi ekonomi nasional memburuk. Pengangguran makin banyak. Dan kejatuhan ekonomi negara pasca pandemi Covid19 belum pulih. 

Dalam kondisi seperti itulah judol berkembang pesat. Solusinya, pemerintah dan semua stake holder yang punya kepedulian terhadap masalah judol harus bekerja sama mengatasinya. 

Di satu sisi solusi tersebut perlu pendekatan hukum restorasi untuk korban yang tak berdaya. Di sisi lain perlu pendekatan keras berdasarkan hukum yang berlaku untuk mafia dan bandar judol.

Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007,  KH. DR. Amidhan Shaberah



Berita Populer


TerPopuler