Oleh: Dominggus Elcid Li
AmbaritaNews.com | Kupang - ‘Jokowi adalah kita.’ Demikian slogan yang pernah populer dalam dua Pemilu yang mengantarkan Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia dua periode. Merujuk pada judul tulisan ini, ucapan selamat tinggal tak hanya ditujukan pada Jokowi, tetapi pada konsep tentang kita itu sendiri. Meskipun tidak ideal, ‘kita’ pernah ada dalam dua dekade reformasi, sebelum dikorupsi oleh sekian keluarga dalam republik. Entah itu keluarga para pimpinan partai politik, keluarga para tokoh agama, keluarga konglomerat pengusaha, keluarga pimpinan mafia, keluarga bekas tokoh mahasiswa, keluarga para jenderal, atau keluarga para bekas presiden dan wakil presiden.
Tetapi kesalahan demi kesalahan yang berubah menjadi tragedi
terjadi sejak Republik Indonesia diproklamasikan juga menunjukkan kekeliruan
kolektif. Entah tragedi 1949, 1957, 1965, 1974, 1991, 1996, 1997, 1999, 2004,
atau 2024. Pada akhirnya kita sedang tidak membicarakan Joko Widodo, Luhut
Binsar Panjaitan, Tomy Winata, Beny Ramdhani, Listyo Sigit, Maruli Simanjuntak,
Bahlil, Haedar Nashir, Yahya Staquf, atau Tessy. Bagi saya, anda-anda ini tidak
berbeda dengan saya, meskipun dalam konteks bersuara, suara kalian lebih
nyaring daripada sekian ratus juta orang yang tinggal di dalam wilayah Republik
Indonesia. Tetapi, anda-anda ini juga akan menjadi kenangan dan ingatan yang
sebentar lagi purna. Sama seperti Sukarno, Soeharto, Aidit, Untung, Soebandrio,
Nasution, Hatta, Sjahrir, Gus Dur, Romo Mangun, Habibie, atau Benyamin S.
Tragedi atau komedi hanya berwarna jika ditatap dari dekat.
Selebihnya hanya ingatan samar, entah itu disimpulkan oleh senyum kecil, atau
hela nafas panjang. Dalam satuan era, seorang presiden, pelawak, tentara, tokoh
agama, atau tokoh mahasiswa tak banyak bedanya. Untuk bisa diingat melampaui rentang
abad, butuh sesuatu yang melampaui diri sendiri, keluarga sendiri, golongan
sendiri dan maunya sendiri. Tidak terlalu menarik kita berbicara dengan orang
yang hanya mengerti dirinya sendiri. Tidak ada gunanya.
*Republik adalah Kita*
Di tahun 2024, pikiran dan tindakan orang Indonesia
cenderung menurun kualitasnya secara kolektif. Para elit Indonesia tidak mampu
berpikir abstrak. Entah Haedar Nasir, entah Jokowi, entah Luhut, entah Yahya
Staquf. Kemampuan untuk berbicara impersonal, atau tidak menempatkan diri
sendiri lebih tinggi dari sekian ratus juta warga negara tidak kalian miliki,
tetapi mengapa kalian bisa berada dalam posisi puncak organisasi atau
institusi?
Sudah terlalu lama kita pergi meninggalkan tahun 1945. Tahun
revolusi. Tahun egaliter. Tahun berbicara apa adanya. Tahun 2024, republik ini
sudah menjadi arena pasar, yang sarat kepentingan (interest). Yang besar tidak
selalu bermartabat, yang berseragam tidak berarti tidak mencuri, yang beragama
tidak berarti sedang berdoa.
Hal-hal mendasar yang seharusnya tidak salah malah dibikin
jadi permainan. Tahun 2012, saya berharap Jokowi akan melakukan sesuatu yang di
luar kebiasaan. Melakukan lompatan yang tidak pernah mampu dilakukan sejak
tahun 1945: memberi ruang Indonesia.
Republik adalah organisasi moderen. Di Indonesia
diterjemahkan bebas. Seperti terjemahan Super Man (Manusia super), ketika
di-Indonesiakan menjadi Suparman. Tanpa kaidah, semua boleh. Orang yang
berkuasa tidak eling. Begitu buruknya hingga orang memilih diam, karena malu untuk
komentar. Mengapa kita menjadi seburuk ini?
Para pimpinan organisasi moderen Indonesia tidak mampu
berpikir abstrak. Bukan cuma seperti bekas jendral macam Luhut, tetapi juga
sama eks orang marketing macam Bambang Pacul, atau guru besar intelijen Indonesia
Hendropriyono. Salah satu kekeliruan mendasar adalah ketiganya mengamini bahwa
kekuasaan, dan darah adalah satu. Republik dimengerti bahwa semua orang
mempunyai kesempatan yang sama. Ruang publik seharusnya tetap dijaga agar ada
yang disebut ‘warga negara’. Yang sedang terjadi adalah republik dihapuskan,
dan klan/trah keluarga dibesarkan.
Ucapan Bambang Pacul orang PDIP soal Megawati-Puan, tak ada
bedanya dengan ucapan Luhut atau Hendro tentang Jokowi-Gibran. Era kerajaan
sudah sepakat diganti Republik, dan kini kita diajak untuk berbicara soal
pewarisan berbasis darah atau dinasti. Kekeliruan yang dibikin di Jakarta,
direproduksi secara masif di berbagai pelosok.
Cina untuk bisa menjadi negara super power dalam tempo yang
‘amat cepat’, menempuh jalan radikal dengan sekian revolusi kebudayaan.
Perancis juga sama satu abad sebelumnya.
Sedangkan Indonesia, entah sedang kemana. Jika semua ‘rasa
peradaban’ dihilangkan dan rakyat dipaksa mengerti maunya para pejabat negara,
dan rumus yang dipakai hanya lah ‘kesejahteraan ekonomi’ maka pertaruhannya
adalah jika Bank Indonesia bubar maka seluruh struktur Indonesia bubar.
Dialog-dialog khas musyawarah untuk mufakat seperti yang dicantumkan dalam Sila
Keempat Panca Sila dilupakan begitu saja.
*Negara dan Politik Kesejahteraan*
Di level negara, di level republik seharusnya pimpinan
negara tidak dalam posisi pedagang. Untuk bisa mengorkestrasi jutaan simpul
kelembagaan, satuan pembicaraannya seharusnya bukan kepentingan (interest),
tetapi ‘kebaikan bersama’. Pandangan mata seorang kepala negara dan elit negara
tidak boleh hanya ada dalam tubuhnya, maupun sel-sel hasil pembelahan dirinya.
Skenario reproduksi negara harus dipikirkan secara saksama untuk kehidupan
bersama.
Langgam Aristotelian ini merupakan jalan tengah, agar
kehidupan yang menjadi puncak, dan bukan kematian dan ilusi kemajuan. Kengerian
demi kengerian muncul ketika membaca dialog-dialog yang diliput media.
Kesalahan dan tragedi yang sudah bisa terbaca, sejak kata-kata keluar tanpa
dihitung bobotnya untuk negeri.
Jika hari-hari ini pengertian republik sedang dikorupsi
menjadi dinasti, maka nasib Indonesia tak cukup panjang. Peringatan ini perlu
disampaikan. Struktur militer saja tidak cukup untuk menjadi rantai persatuan.
Tanpa ideologi republik, tidak mungkin militer bisa berfungsi.
Republik Indonesia adalah kesepakatan bermeteraikan darah
warga negara. Menolak menjadi jajahan siapa pun. Menolak menjadi koloni. Jika
para elit hanya mampu berpikir soal anak, menantu, ipar, adik, teman
seangkatan, dan golongan sendiri niscaya republik tidak lah berumur panjang.
Setelah partai-partai politik rusak karena tradisi darah.
Setelah tentara rusak juga karena tradisi darah. Kini organisasi keagamaan juga
diantar ke kuburan yang sama. Saya berharap Yahya Staquf dan Haedar Nasir bisa
menjadi pilar republik. Namun mengapa jauh sekali kualitasnya dari Gus Dur
maupun Buya Maarif? Mengapa kalian tidak bisa berbicara atas nama KITA? Mengapa
kalian juga meninggalkan republik? Berbicara soal kurang dan kemiskinan (umat),
rasanya kita sama-sama tahu. Entah dari Pulau Timor tempat saya berdiam, atau
di Pulau Jawa tempat saudara berdua berdiri, kemiskinan merupakan persoalan
yang perlu kita pecahkan dengan sungguh-sungguh.
Korupsi di tubuh industri dan institusi ekstraktif harus
dipecahkan, dan bukan dijadikan bancakan. Tragedi besar tahun 1965, dimulai
dari bancakan industri esktraktif pasca nasionalisasi yang dimulai tahun 1957.
Tawaran Presiden Jokowi, bisa jadi merupakan tawaran kematian untuk negara.
Negara dianggap tak mampu untuk mengelola dan melakukan distribusi
kesejahteraan.
Politik kesejahteraan merupakan persoalan negara. Hak-hak
masyarakat adat yang tidak dipulihkan dan penghidupannya yang terancam, dan
langsung ditimpa dengan politik konsesi eigendom ala kolonial merupakan persoalan.
Mengerti dan mendudukan sekian ragam skema produksi warga negara, agar semua
bisa hidup harus menjadi haluan, agar tidak terjadi ‘kolonialisme internal’.
*Penutup*
Hari-hari mendatang tidak lah mudah. Prabowo dengan segala
ceritanya adalah Presiden yang baru. Mengelola republik dengan penduduk ratusan
juta di atas ribuan pulau butuh kemampuan berpikir abstrak yang memadai. Kita
tidak butuh jenderal yang pongah, atau menteri yang dungu. Kita butuh presiden
dan menteri yang mau belajar. Warna republik, lebih luas dari warna seragam
tentara, dan komando teritorial. Seandainya kekuatan warga negara bisa
dibangkitkan, maka energi semesta republik bisa didapatkan.
Era Joko Widodo dan Luhut Binsar Panjaitan sudah berlalu.
Kesempatan yang sudah diberikan rakyat kepada Jokowi untuk memimpin sudah
selesai. Ini bukan soal benar atau salah. Seharusnya Jokowi bisa lebih baik
dari ini.
Sebagai penutup, cerita adaptasi dari Uni Soviet yang sudah
bubar itu mungkin bermanfaat. _Di sebuah kampus ada tiga mahasiswa yang sedang
diuji lewat tes wawancara. Murid A menyogok 1 juta rupiah. Oleh penguji ia
ditanya, kapan tahun revolusi Indonesia dimulai. Murid A menjawab ‘tahun 1945’.
Dan penguji menjawab ‘Dapat nilai 100’. Murid B yang menyogok 500 ribu rupiah,
pun ditanya kapan tahun revolusi dimulai. Murid B menjawab ‘tahun 1945’. Lalu
ditanya kapan selesai, dan ia menjawab ‘tahun 1949’. Penguji memberi nilai 100.
Lalu Murid C yang tidak menyogok pun masuk kelas. Ia ditanya, kapan revolusi
Indonesia dimulai. Ia menjawab ‘tahun 1945’. Lalu penguji melanjutkan ‘Kapan
selesai’. Ia pun menjawab ‘Tahun 1949’. Penguji bertanya ‘berapa orang yang
meninggal’. Murid C menjawab ‘seratus ribu orang’. Penguji pun melanjutkan
‘Sebutkan nama mereka semua…’_
Cerita di atas sekadar hiburan kecil untuk membaca peristiwa
hari-hari ini. Kekuasaan dalam republik tidak mungkin dikelola dalam nalar
dagang dan primordialisme keluarga sebagai nada dasar. Jika hari-hari ini,
pelawak Tessy tersinggung untuk inisial ‘T’, yang sedang viral, orang bertanya-tanya
apa mungkin tikus-tikus yang berumah dalam republik bisa ditangkap. Tetapi jika
semua sudah berubah menjadi tikus, apa mungkin? Gus Dur yang jenaka mungkin
saja menjawab begini, “Ya mungkin saja, nama juga republik tikus… gitu saja kok
repot!” Ia pun tertawa sambil mengangkat kepalanya.
Pada akhirnya generasi reformasi selesai. Orde Baru sudah
purna. Sukarno pun adalah sejarah. Sementara kita masih berada di garis
republik yang kian samar.
Penulis adalah sosiolog dan peneliti di IRGSC (Institute of
Resource Governance and Social Change) tinggal di Kupang, NTT