![]() |
Praktisi Hukum, Muhammad Firdaus Oiwobo, SH., MH (source: fecabook) |
AmbaritaNews.com | Bekasi – Memiliki kendaraan sepeda motor (R2) maupun mobil (R4) adalah dambaan setiap orang, baik itu masyarakat yang tinggal di pedesaan ataupun perkotaan.
Caranya pun diera sekarang ini, memiliki kendaraan mungkin lebih mudah dibandingkan zaman dulu. Masyarakat bisa mendapatkan kendaraan yang diinginkan-nya dengan dibeli secara cash atau kredit.
Nah, bicara membeli kendaraan dengan cara kredit, masyarakat harus mengetahui kewajiban-nya sebagai debitur. Dan ini uraian singkatnya!
Menurut Praktisi Hukum, Muhammad Firdaus Oiwobo, SH., MH atau biasa disapa MFO, masyarakat yang membeli kendaraan sepeda motor atau mobil dengan cara kredit pada dasarnya debitur itu telah mendapatkan jaminan kepemilikan dari si kreditur (Leasing).
“Artinya, kepemilikannya hanya sebatas jika dia (debitur) membayar atau memenuhi prestasinya setiap bulan dengan membayar cicilan, tetapi kalau debitur tidak bisa memenuhi prestasinya maka haknya dicopot secara sistem,” katanya, Kamis (11/1/2024).
Dan kreditur (Leasing), jelas MFO, mempunyai hak eksekutorial untuk menarik jaminan kepemilikan dari debitur. Sesuai makna atau frasa Fidusia adalah satu kata yang diartikan dalam bahasa hukum, hak eksekutorial yang dimiliki pihak kreditur .
“Untuk debitur gagal bayar (wanprestasi), seketika langsung terputus, maka kepemilikan-nya akan dicopot secara sistem sesuai akad kredit. Tidak menunggu dua bulan lagi, kalau dua bulan itu administrasi Hukum Perdata,” imbuhnya.
Dia mengatakan, mengacu perjanjian Fidusia tidak menunggu dua bulan, sedetikpun aja kalau tidak mampu memenuhi prestasinya, kembalikan kendaraan-nya atau dititip di perusahaan pembiayaan (Leasing) lalu buat perjanjian kapan mau dilunasi anguran-nya dan perjanjian itu dua bulan.
“Bila ada itikad baik dari debitur, Leasing tidak akan menurunkan debt collector (dc) ke lapangan melalui perusahaan penagihan,” ungkapnya.
MFO menjelaskan bahwa mata elang (matel) itu bisa dikategorikan debt collector juga, namun siapapun jadi debt collector mobil ataupun sepeda motor bila tidak mengantongi surat-surat dokumen lengkap atau Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan Indonesia (SPPI) maka tidak akan bisa.
“Kalau untuk penagihan uang, tidak perlu SPPI hanya surat kuasa dan yang memberikan surat kuasa itu PT,” ucapnya.
Terkait Fidusia, MFO menyatakan jika perjanjian Fidusia itu disepakati melalui notaris, maka debitur wajib menyerahkan uang jaminan kepemilikan, dan kreditur wajib mengeluarkan Akta Fidusia yang dikeluarkan dari notaris, khusus untuk kendaraan bermotor (R2 atau R4) dan nama tersebut. Leasing pun sudah ada sistem yang mempermudah notarisnya agar tidak repot, kadang Leasing sudah punya notaris sendiri.
MFO juga menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi yang dua kali dikeluarkan soal Pasal 15 UU No.42 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi apabila si debitur telah melanggar prestasinya atau melakukan wanprestasi maka si kreditur (Leasing) wajib menarik paksa.
“Itu kan dihapus katanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi, padahal itu bukan dihapus, tapi disarankan untuk melakukan penetapan ke pengadilan. Bukan sidang ya, tapi menetapkan Akta Fidusia ke pengadilan,” ujarnya.
Menurutnya keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap cacat hukum (obscuur) karena Akta Fidusia itu kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
“Jadi tidak perlu ditetapkan atau disidangkan lagi, kalau ditetapkan lagi itu double namanya, enggak ngerti hukum. Berarti Mahkamah Konstitusi itu enggak ngerti hukum profesor-profesornya,” kata MFO diakhir wawancara. [Diori Parulian Ambarita]